Jumat, 22 April 2016

Curahan Hati dan Pikiran dari Surat-Surat Kartini

Curahan Hati dan Pikiran dari Surat-Surat Kartini

image via: wikipedia.org


Tanggal 21 April menjadi momen tahunan berskala nasional dalam memperingati perjuangan hak-hak emansipasi wanita oleh Raden Adjeng Kartini.

Salah satu peninggalan mengenai pemikirannya adalah buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang yang berisi lebih dari 100 surat Kartini untuk para sahabat penanya.

Buku tersebut merupakan versi terjemahan Armijn Pane dengan tahun terbit 1938. Sedangkan versi aslinya merupakan tulisan Kartini dalam bahasa Belanda, yaitu Door Duistemis Tot Licht.

Mengapa surat-surat Kartini lebih menjadi sorotan? Hal ini berhubungan dengan memaknai hari Kartini yang diwarisi hingga kini.

Emansipasi wanita masa kini banyak yang berwujud kemasan seremoni berkonsep lomba atau pawai memakai konde, kebaya, hingga pakaian nasional. Tetapi, berapa banyakkah perempuan yang benar-benar membaca dan memahami buku Habis Gelap Terbitlah Terang?

Padahal, pada tahun 1964, Presiden Soekarno menetapkan Kartini sebagai pahlawan nasional salah satunya atas dasar buah pemikirannya yang tertuang pada serentetan surat-suratnya.

Kala itu, Kartini menulis surat kepada Estella H Zeehandelaar, Nyonya Ovink-Soer, Nyonya RM Abendanon-Mandri, Tuan Prof Dr GK Anton dan Nyonya, Hilda G de Booij, dan Nyonya van Kol.
Surat-surat Kartini menyuarakan sajak jiwa tentang mendambanya dia kepada orang-orang yang memiliki pemikiran kritis yang sama dengannya.

Sosoknya yang dikenal riang dan bersemangat oleh para sahabat penanya juga menyoroti perihal emansipasi wanita, salah satunya tertera pada surat pertamanya untuk Stella.
Dalam suratnya tersebut, Kartini mencurahkan isi hatinya tentang kebebasan hak perempuan kala itu.

Curahannya tidak lain karena dirinya kerap dikurung di dalam rumah. Kartini hanya dapat mengetahui dunia luar dari buku-buku dan surat-surat kepada teman-temannya.
Apalagi pada masa itu pendidikan hanya milik laki-laki belaka. Wanita kelahiran 21 April 1899 inilah yang akhirnya menginsipirasi lewat berbagai tulisannya.

Masih seputar surat-suratnya, Kartini juga mengungkapkan jalan yang ditempuhnya terjal dan belum dirintis oleh wanita lainnya. Jalan kebebasannya dimulai dari aktifitas mengajarnya saat menjadi guru.

Pendidikan bagi Kartini menjadi perkara penting. Baginya, pendidikan merupakan gerbang dalam mewujudkan mimpi.
Surat lainnya kepada Prof Anton pada 4 Oktober 1902, Kartini mengomentari diskriminasi pendidikan pada golongan wanita dan rakya jelata.

Pendidikan bagi Kartini bukan menjadi ajang persaingan terhadap kaum laki-laki untuk lebih sukses. Wanita berpendidikan akan memiliki kecakapan dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.

Dalam surat-surat lainnya juga tampak Kartini kerap berdebat dengan pikiran-pikirannya.
Perkara-perkara yang dihadapinya langsung termasuk anak malang yang banyak ditemuinya di jalanan mendorongnya untuk terus melanjutkan perjuangannya.

Surat-suratnya juga mengulas pandangan dan keluhannya tentang poligami, serta kegundahannya akan perkawinan dan cintanya yang dirasa mustahil ada. Hal tersebut mendasar pada pengalaman ayahnya yang berpoligami.

Selain itu, surat berikutnya yang ditujukan kembali kepada sahabatnya Stella pada 6 November 1899, membahas tentang agama Islam yang dianutnya.

Kartini mencoba menelusuri tentang bagaimana memahami agama bukan hanya sekedar meneruskan generasinya yang terdahulu, seperti yang dia rasakan.

Bahkan, tentang bagaimana memahami isi dari kitab Al-Qur’an bukan hanya berdasar pada kemampuan membacanya.

Hal tersebut karena kala itu penerjemahan ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat Jawa di wilayahnya masih sangat minim.

Meskipun masalah menderanya, bahkan ketika ayah yang disayanginya jatuh sakit dan mimpinya kian terasa jauh, Kartini tidak berhenti berjuang lewat tulisan-tulisannya.

Curahan hati dan pemikirannya inilah yang seharusnya menjadikan Kartini sebagai sosok yang menginspirasi untuk wanita masa kini dan nanti.