Curahan Hati dan
Pikiran dari Surat-Surat Kartini
image via: wikipedia.org |
Tanggal 21 April menjadi momen tahunan berskala nasional dalam
memperingati perjuangan hak-hak emansipasi wanita oleh Raden Adjeng Kartini.
Salah satu peninggalan mengenai pemikirannya adalah buku
berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang
yang berisi lebih dari 100 surat Kartini untuk para sahabat penanya.
Buku tersebut merupakan versi terjemahan Armijn Pane dengan
tahun terbit 1938. Sedangkan versi aslinya merupakan tulisan Kartini dalam
bahasa Belanda, yaitu Door Duistemis Tot
Licht.
Mengapa surat-surat Kartini lebih menjadi sorotan? Hal ini
berhubungan dengan memaknai hari Kartini yang diwarisi hingga kini.
Emansipasi wanita masa kini banyak yang berwujud kemasan
seremoni berkonsep lomba atau pawai memakai konde, kebaya, hingga pakaian
nasional. Tetapi, berapa banyakkah perempuan yang benar-benar membaca dan
memahami buku Habis Gelap Terbitlah
Terang?
Padahal, pada tahun 1964, Presiden Soekarno menetapkan
Kartini sebagai pahlawan nasional salah satunya atas dasar buah pemikirannya
yang tertuang pada serentetan surat-suratnya.
Kala itu, Kartini menulis surat kepada Estella H
Zeehandelaar, Nyonya Ovink-Soer, Nyonya RM Abendanon-Mandri, Tuan Prof Dr GK Anton
dan Nyonya, Hilda G de Booij, dan Nyonya van Kol.
Surat-surat Kartini menyuarakan sajak jiwa tentang
mendambanya dia kepada orang-orang yang memiliki pemikiran kritis yang sama
dengannya.
Sosoknya yang dikenal riang dan bersemangat oleh para sahabat
penanya juga menyoroti perihal emansipasi wanita, salah satunya tertera pada
surat pertamanya untuk Stella.
Dalam suratnya tersebut, Kartini mencurahkan isi hatinya
tentang kebebasan hak perempuan kala itu.
Curahannya tidak lain karena dirinya kerap dikurung di dalam
rumah. Kartini hanya dapat mengetahui dunia luar dari buku-buku dan surat-surat
kepada teman-temannya.
Apalagi pada masa itu pendidikan hanya milik laki-laki
belaka. Wanita kelahiran 21 April 1899 inilah yang akhirnya menginsipirasi
lewat berbagai tulisannya.
Masih seputar surat-suratnya, Kartini juga mengungkapkan
jalan yang ditempuhnya terjal dan belum dirintis oleh wanita lainnya. Jalan
kebebasannya dimulai dari aktifitas mengajarnya saat menjadi guru.
Pendidikan bagi Kartini menjadi perkara penting. Baginya,
pendidikan merupakan gerbang dalam mewujudkan mimpi.
Surat lainnya kepada Prof Anton pada 4 Oktober 1902, Kartini
mengomentari diskriminasi pendidikan pada golongan wanita dan rakya jelata.
Pendidikan bagi Kartini bukan menjadi ajang persaingan
terhadap kaum laki-laki untuk lebih sukses. Wanita berpendidikan akan memiliki
kecakapan dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang ibu, pendidik manusia
yang pertama-tama.
Dalam surat-surat lainnya juga tampak Kartini kerap berdebat
dengan pikiran-pikirannya.
Perkara-perkara yang dihadapinya langsung termasuk anak
malang yang banyak ditemuinya di jalanan mendorongnya untuk terus melanjutkan
perjuangannya.
Surat-suratnya juga mengulas pandangan dan keluhannya
tentang poligami, serta kegundahannya akan perkawinan dan cintanya yang dirasa
mustahil ada. Hal tersebut mendasar pada pengalaman ayahnya yang berpoligami.
Selain itu, surat berikutnya yang ditujukan kembali kepada
sahabatnya Stella pada 6 November 1899, membahas tentang agama Islam yang
dianutnya.
Kartini mencoba menelusuri tentang bagaimana memahami agama
bukan hanya sekedar meneruskan generasinya yang terdahulu, seperti yang dia
rasakan.
Bahkan, tentang bagaimana memahami isi dari kitab Al-Qur’an
bukan hanya berdasar pada kemampuan membacanya.
Hal tersebut karena kala itu penerjemahan ke dalam bahasa
yang bisa dipahami masyarakat Jawa di wilayahnya masih sangat minim.
Meskipun masalah menderanya, bahkan ketika ayah yang
disayanginya jatuh sakit dan mimpinya kian terasa jauh, Kartini tidak berhenti
berjuang lewat tulisan-tulisannya.
Curahan hati dan pemikirannya inilah yang seharusnya menjadikan
Kartini sebagai sosok yang menginspirasi untuk wanita masa kini dan nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar