Setelah beberapa pembahasan sebelumnya mengenai keadaan politik dan dinamika kenegaraan Indonesia, saatnya kita lirik materi menarik lainnya yang lebih soft. Yap, mengenai apresiasi musik di Indonesia. Musik jadi bahasa universal dari mengekpresikan jiwa serta keadaan emosional setiap insan manusia. Musik juga menjadi sarana pemersatu yang sederhana, bahkan jadi semacam terapi menghadapi keadaan dunia yang terkadang membuat penat ini.
Totalitas Musikalitas
Sejauh mana kita mengapresiasi musik Indonesia, apakah dengan membeli karyanya atau menyambangi serta menikmati pertunjukan atau konser musiknya? sepertinya dua hal tadi jadi hal yang langka saat ini bagi penikmatnya. Padahal, musik merupakan produk kreatif yang seharusnya mendapat apreasiasi tertinggi atas proses kontemplasi dan harominasi komposisi nada yang musisi ramu dengan cara yang berbeda dan luar biasa.
Revolusi mental yang selama ini digadang-gadang bahkan ada dalam program pemerintah seharusnya direalisasikan, salah satunya dalam musik. Mengapresiasi musik negeri kita dalam hal ini bukan berkonsentrasi pada materi, tetapi moralitas dan integritas. salah satu hal sederhana yang sampai saat ini masih sulit dihilangkan yaitu, piracy atau pembajakan. Dengan mudahnya kita 'mengkonsumsi' musik saat ini dengan berbagai metode yang sekarang kita sebut free download.
Musisi sekaligus komposer senior Yovie Widianto pun angkat bicara dalam pambahasan ini. Menurutnya, seharusnya masyarakat berterimakasih atas karya musik yang diciptakan musisi, sehingga mampu mengubah suasana hati, berimajinasi atau bahkan membuat perasaan jadi lebih baik. Salah satunya dengan membeli produk 'fisik' aslinya atau bahkan hadir dalam pertunjukan musik atau konsernya.
Manners before Knowledge
Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Republik Indonesia, Triwan Munaf menilai ada yang salah dengan budaya dari penikmat musik di Indonesia jika terus diberikan secara gratis. Menurut Triwan, bagaimanapun juga seagala sesuatu pemberian, apalagi terhadap suatu karya yang jika diberikan terus menerus secara gratis, berdampak terhadap berkurangnya effort masyarakat terhadap apresiasi karya musisi itu sendiri.
Lain lagi dengan Ketua Persatuan Artis Penyanyi,Pencita Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) dan Anggota DPR Tantowi Yahya menyayangkan sistem dan kondisi pasar industri kreatif musik di Indonesia. Kritisi soal kuntinyuitas jangka panjang royalti terhadap musisi Indonesia bahkan durasi munculnya musisi di layar kaca yang tidak terkontrol. "Perlu kita ketahui saat Michael Jackson booming, dia sangat jarang bahkan hampir tidak pernah muncul di televisi. Dia (Michael Jackson) baru muncul di depan publik penggemarnya saat konser atau tour antar kota, itu yang menjadikan dirinya sebagai sosok yang dinantikan," tutur Tantowi.
Tantowi menambahkan, ini berbeda dengan zaman sekarang di Indonesia, dimana penampilan musisinya dengan mudah dapat dilihat dan nikmati di layar kaca secara rutin dan berkala, bahkan di stasiun televisi yang berbeda. Hal tersebut dapat memunculkan rasa bosan, jadi tidak heran prediksi 'umur pendek' bagi kepopularitasan musisi kekinian menjadi rentan, walalupun pada awalnya 'heboh' jadi pembicaraan.
Konduktor terkenal, Adi MS, mengometari budaya Indonesia yang 'seperti itu' bisa dirubah. "Tidak salah jika manners before knowledge itu penting," kata Adi MS. Karena hakikatnya memang sopan santun atau etika yang baik akan menuntun ilmu pengetahuan yang kita miliki ke arah yang lebih baik pastinya, dalam hal ini termasuk mengapresiasi karya musisi anak negeri. Semoga saja lembaga kreatif seperti Bekraf RI, PAPPRI bersama instansi terkait lainnya mulai dari pemerintah, swasta dan masyarakatnya mampu bersinergi dalam mempersatukan harmonisasi simfoni musik untuk satu negeri, Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar