Pemprov DKI Jakarta dalam misi 'membereskan' tata letak kotanya, menertibkan Kampung Pulo bersama warganya. Proses relokasi warga Kampung Pulo berada di Rusunawa (rumah susun sederhana sewa) Jatinegara Barat Jakarta Timur (Rumah Susun yang disediakan Kementian Pekerjaan Umum untuk disewakan) menempuh proses yang tidak mudah. Hal tersebut disebabkan belum pahamnya warga akan dampak positif dari penertiban wilayah Kampung Pulo yang secara undang-undang masih masuk wilayah sempadan sungai yang seharunya disterilisasi untuk konservasi lingkungan.
Konservasi dan Sterilisasi Wilayah Sempadan Sungai Ciliwung Jadi Konsekuensi
Konservasi dan Sterilisasi Wilayah Sempadan Sungai Ciliwung Jadi Konsekuensi
Bagian dari proyek Pemprov DKI Jakarta yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2013 ini demi normaslisasi Sungai Ciliwung, dampak makronya mereduksi banjir sebesar 30% di Jakarta. Apalagi, wilayah ini setiap tahunnya dikenal mendapatkan 'langganan' banjir. Dampak lain dari banyaknya lokasi pemukiman yang terlalu dekat dengan sungai, ditambah budaya membuang sampah di kali meyebabkan penyempitan dan pendangkalan sungai yang memiliki hulu di Gunung Pangrango ini.
Pada hari pertama (20/8) kerusuhan besar-besaran terjadi. Aksi anarki yang tak terelakkan, penolakan besar-besaran warga Kampung Pulo dengan alasan menuntut ganti rugi dan masih betah karena jaminan hidup mereka yang tidak pasti pasca relokasi di tiga rusunawa yang buka kepemilikan pribadi jadi alasan, Seperti diketahui, akan ada biaya sewa dan peerawatan rusunawa sebesar 300 ribu sebulan. Padahal, menurut pemahaman warga tentang Peraturan Gubernur nomor 193 tahun 2013 sesuai kesepakatan mereka akan mendapatkan 25% ganti rugi dari nilai tanah pasca relokasi.
Sikap penolakan yang ditunjukkan warga sempat membuat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok geram. Pasalnya fasilitas rusunawa serta dispensasi waktu yang diakui Ahok sangat toleran dalam memberikan tambahan waktu bagi warga Kampung Pulo tinggal dan mekakukan usaha di atas tanah yang statusnya milik negara. Untuk sertifikat tanah yang 'diklaim' warga sebagai tanah legal dan ditandatangani lurah dan instansi pemerintahan lainnya, Ahok menganggap itu lemah dan tak beralasan. Tidak heran jika Ahok enggan memberikan ganti rugi tanah sekalipun sebesar 25%. Selain berbenturan dengan UU, sertifikat tanah tersebut tidak diperkuat dengan kepemilikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). "Tidak ada ganti rugi, karena itu tanah negara," tegas Ahok.
Ahok kembali menambahkan, status tanah tersebut ilegal apabila merujuk Peraturan Pemerintahan No. 38 tahun 2001 tentang wilayah sekitar sungai termasuk Ciliwung memiliki batas 15 meter dari garis sempadan. Karena membangun di tanah yang seharusnya menjadi bagian dari batas konservasi lingkungan serta sumber resapan air. Bercermin dari kejadian tersebut, hal serupa juga terjadi di negara Singapura, kebijakan pemerintahan mereka juga bahkan kontroversi dengan merelokasi warganya secara tegas tanpa menyediakan fasilitas tempat tinggal bahkan yang sifatnya sementara untuk warganya karena jelas melanggar aturan.
Hari pertama penertiban sangat tidak mudah dan pada akhirnya ditunda karena prosesnya tidak megalami titik damai, mulai dari rusaknya satu alat berat oleh amuk massa, hingga korban luka dari petugas Satpol PP maupun warga hingga penangkapan 27 warga yang diduga provokator termasuk insiden salah tangkap warga bernama Eko Prasetyo yang sampai saat ini masih ditindak lanjuti oleh kepolisian penyebab pastinya.
Daya dan Upaya Mereduksi Banjir
Program ini jadi penegasan oleh Ahok karena normalisasi sungai Ciliwung ini juga sesuai dengan program persiapan menghadapi musim penghujan nanti dalam mereduksi banjir. Sebenarnya, pemberitahuan termasuk diskusi dengan warga Kampung Pulo sudah dilakukan sebelumnya, yaitu rencana melakukan penertiban pasca Idul Fitri yang pada akhirnya mendapat dispensasi waktu sampai saat ini.
Melihat fungsi dan sejarahnya sungai Ciliwung yang memiliki fungsi yang cukup sentral pada masanya menjadi miris setelah melewati waktu sampai sekarang ini. Berdasarkan data yang didapat, debit air yang berkurang menjadi 200 meter kubik per detik akibat penumpukan bangunan, warga hingga perilaku budaya warga kurang menjaga lingkungan (buang sampah di sungai). Padahal, sebeumnya debit air mencapai 570 meter kubik per detik. Dengan lebar sungai saat ini mencapai 20 - 30 meter yang sebelumnya mencapai 50 meter.
Memasuki hari kedua hingga ketiga, proses penertiban akhirnya berangsur-angsur berjalan lancar setelah menempuh proses negosiasi dan mediasi anatara kedua belah pihak yang bertikai sebelumnya tentang misi penting dan manfaat dibalik adanya relokasi tersebut. "Pemilik sertifikat tanah asli dari Kampung Pulo akan mendapat kompensasi," tutur Bambang Musyawardan sebagai Walikota Jakarta Timur. Hal tersebut membuat warga semakin sadar dan tenang berpindah menuju hunian barunya tersebut. Berkat sikap warga yang kooperatif tersebut, sekitar 20 % wilayah atau sekitar 519 bidang tanah pada hari itu akhirnya berhasil ditertibkan.
Proses penertiban ini rencananya akan terus dilakukan pemerintahan selama tujuh hari atau secepatnya, mengingat musim penghujan yang dikhawatirkan datang terlalu cepat. Selain itu, kerugian yang dialami negara akibat banjir bisa ditekan. Dari data yang didapat, pada 2014 lalu pemerintahan pusat mengalami rugi akibat bencana banjir sekitar 12 triliyun, sedangkan tahun ini kerugian mencapai 5 triliyun.
Sedangkan terkait dengan kerugian penggantian dana pasca relokasi, Kepala Polda Metro Jaya, Irjen Pol. Tito Karnavian mempersilahkan bagi warga kampung Pulo yang memiliki dokumen kepemilikan tanah asli dan rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk mengajukan gugatan secara perdata. Menurut Tito, hal ini jelas akan lebih elegan dan terhormat ketimbang melakukan aksi anarkis yang merugikan.
Memasuki hari ketiga penertiban, sekitar 389 kepala keluarga di Kampung Pulo sudah memesan unit Rusunawa Jatinegara Jakarta Barat untuk ditinggali. Rusunawa ini sendiri memiliki daya tampung sebanyak 520 kepala keluarga. Total kepala keluarga warga Kampung Pulo yang direlokasi sebanyak 926 kepala keluarga.
Dalam rencananya, pemerintahan pusat melakukan normalisasi terhadap dua sungai lainnya, yaitu Sungai Mampang dan Sungai Krukut. Program ini sebenarnya sudah disosialisasikan sekitar satu tahun yang lalu, sedangkan saat ini menunggu untuk dieksekusi setelah sukses menormalisasikan Sungai Ciliwung dan relokasi Kampung Pulo.
Proses penertiban ini rencananya akan terus dilakukan pemerintahan selama tujuh hari atau secepatnya, mengingat musim penghujan yang dikhawatirkan datang terlalu cepat. Selain itu, kerugian yang dialami negara akibat banjir bisa ditekan. Dari data yang didapat, pada 2014 lalu pemerintahan pusat mengalami rugi akibat bencana banjir sekitar 12 triliyun, sedangkan tahun ini kerugian mencapai 5 triliyun.
Sedangkan terkait dengan kerugian penggantian dana pasca relokasi, Kepala Polda Metro Jaya, Irjen Pol. Tito Karnavian mempersilahkan bagi warga kampung Pulo yang memiliki dokumen kepemilikan tanah asli dan rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk mengajukan gugatan secara perdata. Menurut Tito, hal ini jelas akan lebih elegan dan terhormat ketimbang melakukan aksi anarkis yang merugikan.
Memasuki hari ketiga penertiban, sekitar 389 kepala keluarga di Kampung Pulo sudah memesan unit Rusunawa Jatinegara Jakarta Barat untuk ditinggali. Rusunawa ini sendiri memiliki daya tampung sebanyak 520 kepala keluarga. Total kepala keluarga warga Kampung Pulo yang direlokasi sebanyak 926 kepala keluarga.
Dalam rencananya, pemerintahan pusat melakukan normalisasi terhadap dua sungai lainnya, yaitu Sungai Mampang dan Sungai Krukut. Program ini sebenarnya sudah disosialisasikan sekitar satu tahun yang lalu, sedangkan saat ini menunggu untuk dieksekusi setelah sukses menormalisasikan Sungai Ciliwung dan relokasi Kampung Pulo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar