Ini merupakan tulisan opini, masih dalam suasana kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70.
Cukup uzur untuk sebuah umur. Apa yang terbersit dalam benak kita soal negeri ini? ambisi, harapan, optimisme, pesimisme atau malahan sinisme dan ironi? Negeri ini bukan soal mengenyam ekspektasi kemudian tanpa aksi.
Problematika tak akan menjadi angkara hanya risau ditelan masing-masing. 70 tahun sudah tidak muda lagi, menghargai jasa para pahlawan bukan slogan yang diulang layaknya iklan layanan masyarakat saja lalu menguapa mengecap di lidah. Itu punya esensi dari empunya, sang proklamator dan inspirator.
Masyarakat harus sabar mengahadapi cobaan saat ini dengan segala retorika dan rencana. Mungkin kita sebagai rakyat juga lebih insiatif untuk cerdas, kritis, skeptis, inovatif, kreatif dan toleran soal pemerataan negeri. Pemerataan di negeri ini masih menembus sektor yang seakan punya banyak tangan, tangan yang di atas, di bawah atau merogoh sang empunya tangan yang di atas dan dibawah.
Mereka yang di daerah perbatasan rela seadanya, atas nama patriotisme dan nasionalisme mereka tersenyum optimis. Belum lagi tawaran kewarganegaraan yang datang dari negara tetangga yang menawarkan fasilitas yang menguji nasionalisme mereka. Sedangkan kita yang berada di sini, mungkin diberikan pilihan dan keadaan yang berbeda. Kesetiaan itu bagaimanapun tak ternilai harganya.
Drug Trafficking yang berbahaya masih lebih kalah miris lagi dengan kasus Human Trafficking, Ironis ya, manusia bisa diniagakan bukan jasanya,bukan barangnya, uang jadi motivasinya. Jangankan itu, kepercayaan saja jadi semacam barang laris. Sinis? bukan, ini data yang dihimpun yang semakin buat kita miris. Belum lagi korupsi di semua lini yang buat rakyat apatis, seakan penyakit kronis yang tidak habis-habis.
Isu hajat hidup orang banyak dari bahan pokok yang disulap oleh mafia yang mengharusankan namanya istilah impor saja jadi ramai saat ini. Apalagi isu waktu pengelolaan peti kemas yang seolah menyimpan tambang emas, ini bukan soal freeport kan? Belum lagi isu kepercayaan yang merebak di Timur sana dengan segala rumitnya aset berharga beserta potensi negaranya. Masih ada lagi? ya ini bagian kecil ironi negeri ini.
Optimisme, ada, mereka yang tidak pernah lelah berusaha mengalahkan segala hal negatif yang muncul. Hidup selalu diberikan pilihan termasuk untuk melakukan sesuatu berdasarkan maksud dan motifnyanya hidup, sekedar 'kenyang' jasmani atau mencoba memahami esensi hiduip ini tentang tujuan manusia ada di sini, di tanah negeri ini.
Mereka yang tak kenal lelah menjadi relawan di berbagai bidang tanpa pamrih, bahkan pada mereka yang bahkan belum tau gunanya uang itu apa. Mereka menyelipkan doa untuk mereka, khususnya yang muda agar terus mencari setitik cahaya meski temaram dan dari celah sempit. Mudah-mudahan juga masih ada para pemimpin revolusionar yang jadi salmon, melawan arus dari lingkaran durjana negeri ini. Mereka yang cerdas dan paham liku dan melawan intrik politik, sudah saatnya ada birokrat hebat yang tak hanya sekedar nekat tapi punya visi, misi dan tekad.
Kita butuh seorang inovator yang mampu 'menyulap' benang kusut ini jadi seperti semula, tau masalah global bukan sekedar jual janji gombal. Bukan sekedar tau kerja tapi tau mau ke mana arah negara bersama rakyatnya. Para pion dan bidak lainnya harus siap punya gerakan harmonis dan tak pesimis, optimis, itu yang sering didengungkan dan jadi harapan. Semoga sinisme dan kepercayaan publik yang berkurang antara rakyat dan para pemimpinnya mereda agar segera membangun bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar