Keberadaannya di pemerintahan Indonesia sebagai Menko Kemaritiman dan Sumber Daya yang belum genap sebulan sudah mengundang polemik dengan berbagai kebijakan dan penyataan yang dikeluarkan. Sebut saja soal kasus Dwelling Time hingga pengadaan listrik sebesar 35 ribu MW. Bagaimana Rizal Ramli menyikapinya? Simak ulasan lengkapnya.
Demi Revolusi Mental
Merujuk kilas balik yang ditelisik oleh Rizal Ramli saat 15 tahun yang lalu, di perpajakan dan bea cukai Pelabuhan Tanjung Priok, terdapat dua jalur dalam kepengurusan izin di Pelabuhan Tanjung Priok, di antaranya ada sebutan Jalur Hijau dan Jalur Merah. Jalur Hijau diperuntukan pada perusahaan bonafit, sedangkan Jalur Merah diperuntukan pada perusahan baru yang belum terbiasa akan perizinan.
Seiring waktu, perusahaan beradaptasi dengan birokrasi sehingga berada pada jalur hijau yang menjadi akseleras. Sedangkan, perusahaan yang mengurus di jalur merah berkurang, sehingga pemeriksaan dan perizinan lebih cepat. Hal tersebut mendorong Rizal Ramli di posisinya saat ini untuk membenahi sistem birokrasi yang terkesan memperlambat Dwelling Time.
Tindakan pembenahan pun terus berlanjut, langkah membenahi pemborosan waktu Dwelling Time dimulai dari pembenahan jalur kereta yang selama ini dibeton oleh PT. Pelindo II. Menurut Rizal Ramli, jalur kereta yang ada sejak zaman Belanda ini memang disediakan untuk mempermudah akses perpindahan barang. Kemudian, Pelindo tutup dengan indikasi kereta tidak ke pelabuhan agar simpan barang aman dan lebih lama.
Beberapa kebijakan yang dikritisi dan segera ditindak dalam jangka waktu dua bbulan ini oleh Rizal Ramli terkait pelabuhan paling sibuk di Indonesia ini, diantaranya kontainer kerap lama keluar dari pelabuhan, padahal biaya tunggunya mencapai 170.000 USD. Hal tersebut berdampak pada biaya logistik (cost logistic) menjadi besar dan berimbas kepada masyarakat.
Kebijakan bukan hanya buat nyaman perusahaan pengelola perizinan seperti Pelindo, inefisiensi waktu dari tarif kontainer yang disimpan di pelabuhan dikenakan biaya yang murah, yaitu sekitar Rp 17.000 yang membuat para perusahaan betah berlama-lama di pelabuhan sehingga menambah lama proses Dwelling Time. Perubahan kebijakan yang menysul diantaranya dengan meningkatkan biaya simpan jika dalam waktu kurun hari ke-3 tidak bergerak. Biaya tamabahan seniali lima juta rupiah setelah melewati tiga hari masa simpan.
Perizinan yang merupakan birokrasi juga akan direvisi. Bagaimana tidak, perusahan di pelabuhan setidaknya akan mengurus 124 perizinan yang berasal dari 20 kementerian. Maka dari itu tidak heran Rizal Ramli nampak jengah dengan birokrasi yang semakin lama malah mempersulit. "Kebiasaan harus diubah, jangan lagi mempersulit birokrasi dengan semboyan 'kalo bisa dipersulit buat apa dipermudah' buaya seperti itu harus diubah," kata Rizal Ramli. Selain itu budaya pelayanan perizinan berdasarkan sesuai nomor urut antrian tanpa memperdulikan pihak khusus sehingga kepengurusan menjadi acak. Sehingga, tidak ada istilah 'raja-raja kecil diantara raja lapak'.
Seangkan untuk kasus mobile crane pada Pelindo II yang masih terkait dengan Dwelling Time, kasus ini masih tersu dalam masa penyidikan lebih lanjut pasca penggeladahan dan penyitaan dokumen. Dari data yang didapat, pengadaan mobile crane tidak efektif karena sudah adanya alat angkut Super Panama yang lebih efisien mengangkut kontainer dengan statistik 30 move per our. Sedangkan, mobile crane dengan delapan move per hour.
Terkait kebijaka lain soal pengadaan listrik 35 ribu MW, Rizal Ramli memiliki pandangan tersendiri, sekalipun proyek tersebut tetap diadakan. Pernyataan dari berbagai stakeholder pemerintahan yang mendukung proyek ini dinilai terlalu ambisius buat Rizal Ramli.
Rizal Ramli memandang proyek tersebut lebih realistis jika dibangun dengan 16 ribu MW. Jika merunut ada juga proyek 35 ribu MW yang dibangun sebelum proyek ini, seharunya proyek sebelumnya lebih dahulu direalisasi. Belum lagi proyek pada masa pemerintahan SBY yang hanya terealisasi 3 ribu MW.
Merujuk realisi sebelumnya dan kebutuhan yang ada, RizaL tetap pada pendiriannya. Belum lagi berdasarkan perhitungannya, ada prediksi sekitar 10 ribu MW yang akan tersisa dari pemakaian total 35 ribu MW yang harus tetap dibayar pemerintah setiap tahunnya kepada perusahaan swasta yang mengadakan listrik." Kita lihat saja lima tahun ke depan apakah ini benar sesuai dengan kebutuhan dan terealisasi sebesar 35 ribu MW," pungkas Rizal Ramli.
Kita nantikan saja sepak terjangnya berikutnya, mengingat berbagai 'resiko besar' menanti demi perbaikan negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar