Selasa, 01 September 2015

Asa Di Tengah Nestapa (Normaslisasi Sungai Ciliwung Bagian Ke-2)
























Program normalisasi Sungai Ciliwung terus berjalan, masyarakat Jakarta meninggalkan asa atas solusi reduksi banjir yang dijanjikan. Polemik yang berkembang meninggalkan sedu sedan dari mereka yang mengorbankan. Sungai Ciliwung riwayatmu kini.

Normalisasi Tetap Jadi Solusi
Merujuk aturan konservasi lingkungan dan wilayah sempadan lingkungan sungai senada dengan program yang digalakan Pemprov DKI Jakarta. Aturan yang sebenarnya sudah berjalan di semua lapisan seaakan terlupakan, dari ukuran hingga peraturan dan perundang-undangan. Sampai mana sosialisasi akan hal ini berjalan?

Ukuran normal Sungai Ciliwung sebenarnya menyesuaikan dengan lingkungan yang dilewati serta kontur tanahnya. Tetapi, ukuran yang akan jadi standarisasi untuk konservasi yakni dengan lebar sungai 35 meter, dengan wilayah jalur inspeksi pada masing-masing sisi sungai sekitar 7,5 - 8 meter. Jadi total areanya yaitu berkisar 50 meter. Hal ini menginisiasi normalisasi Sungai Ciliwung meskipun menimbulkan konfrontasi. Belum lagi reduksi banjir yang didengung-dengungkan jika program ini berjalan, atas alasan kebaikan mayoritas ini harus tuntas.

Pengorbanan
Warga Kampung Pulo bukan tanpa komentar, Syafitriani salah satunya. Harapan dari ganti rugi tenyata muncul dari dia atas dasar perjuangannya telah susah payah mendirikan rumah dari biaya yang dikumpulkan. Sambil menangis, Syafitriani mengenang rumahnya yang berasal dari uang yang dikumpulkannya dari pekerjaan sebagai enaga Kerja Wanita (TKW).

Saran dari Sholeh Hs, salah satu tokoh dari warga Kampung Pulo mengenai perdebatan yang tak kunjung reda patut jadi pertimbangan. Sholeh Hs mengharapkan musyawarah untuk mufakat, yaitu agar pemerintah dan warga Kampung Pulo duduk bersama mengkomunikasikannya langsung demi solusi bersama.



Salah Siapa?
Seharusnya konfrontasi berujung aksi anarki ini tidak seharusnya terjadi. Bukan tanpa alasan, beberapa dari mereka (warga Kampung Pulo) membeberkan surat akta jual beli tanah agar rumah mereka tidak direlokasi. Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama selalu bereaksi bahwa tanah tanpa IMB dan Sertifikasi Kepemilikan Tanah tanpa bubuhan resmi cap Badan Pertanahan hanyalah lembaran identitas tanah tak bertuan. "Logika penggantian tanah tanpa IMB dan sertifikat asli jika dilakukan jadi ga adil, tanah di wilayah lain yang kena relokasi bisa-bisa nuntut ganti semua, bisa bangkrut negara begitu semua, makanya kita tawarkan rusunawa," tutur pemilik panggilan Ahok ini.

Warga Kampung Pulo seperti tak tau harus bagaimana, seperti habis dikerjai. Kembali menurut Ahok dan beberapa pengamat mengenai konservasi dan kasus ini, sejarah memaparkan memang ada kekeliruan besar. Transaksi jual beli tanah yang nantinya milik warga Kampung Pulo itu sudah dilakukan sejak lama dari beberapa generasi sebelumnya, sungguh sangat disayangkan. Tanda tangan yang melegalisasi akta jual beli tanah itu pun memang jelas milik oknum pejabat pemerintahan, bagaimana warga Kampung Pulo tidak heran.

Meskipun begitu, Pemprov DKI Jakarta saat ini dinilai Ahok sudah memiliki niat baik dengan menyediakan rusunawa dekat dengan wilayah yang direlokasi. Apalagi, pelanggaran mendirikan bagunan tanpa izin di atas tanah yang dikelola negara serta transaksi jual beli tanah yang juga dikelola negara sudah dimaafkan demi normalisasi Sungai Ciliwung yang mengalami percepatan. 

Padahal dasar hukum yang jadi pegangan seluruh instansi pemrintahan maupun warga jelas, yaitu undang-undang tentang pertanahan nomor 2 tahun 2012. Tetapi kembali lagi, sejauh mana jangkauan sosialisasi dan pemahaman pemerintah akan perundang-undangan agar tak ada lagi 'kisah' Kampung Pulo berikutnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar