Minggu, 06 September 2015
Lobi Politik Berujung Polemik
Kunjungan kenegaraan biasanya dilakukan dala misi kenegaraan yang sifatnya formal dan terkoordinasi. Improviasasi biasanya dilakukan diluar ekspektasi dari pertemuan formal yang terjadi. Tetapi, apa yang terjadi jika berada dalam suah konferensi pers berbau unsur kampanye yang kuat, layakkah?
Pertemuan Parlemen Berujung Kampanye Politik Donald Trump
Kehadiran Ketua DPR Pusat, Setya Novanto dan Wakil DPR Pusat Fadli Zon bersama 9 anggota DPR lainnya menyaksikan orasi politik Donald Trump dari Partai Republik, menjadi polemik yang tidak berkesudahan baik dari kalangan angoota DPR hingga masyarakat umum. Agenda utama anggota DPR Pusat sebenarnya adalah dalam rangka kunjungan dan pertemuan parlemen sedunia selama 12 hari, dengan menghabiskan dana sebesar 4,63 milyar.
Kecaman dari banyak kalangan segera dikonfirmasi oleh Fadli Zon yang menegaskan bahwa itu hanyalah pertemuan informal dan lebih kepada membangun link hubungan baik dan bidang ekonomi. Apalagi, Trump berinvestasi di Jawa Barat dan Bali. Konfirmasi tersebut masih menuai antipati, bahkan anggota DPR Pusat lainnya meminta pengunduran diri Setya Novato dan pemeriksaan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.
Tidak begitu terima, Fadli Zon menjelaskan duduk perkara hingga dia berada di sana."Ini memang bukan agenda resmi dan informal sifatnya, kami bertemu Trump di lantai 26 dan diajak menghadiri konferensi pers Trump yang statusnya baru bakal calon Presiden Amerika Serikat yang kuat secara elektabilitas. Menunjukkan kehormatan dan budaya Indonesia yang semestinya kami meghadiri tanpa bermaksud mendukung Trump," tutur Fadli.
Setelah orasi politiknya, Trump sebenarnya sudah keluar dari podium yang sudah disediakan. Kemudian, mendadak Trump kembali dengan memperkenalkan Setya Novanto sebagai orang berpengaruh besar di Indoesia dan Trump mengakui kredibiltasnya sehingga dipercaya untuk bersama membangun Amerika Serikat.
Citra Publik
Bukan tanpa alasan, citra publik terasa terusik dengan keberadaan para anggota dewan dalam pertemuan yang dinilai rawan. Maman Imanul Haq salah satu anggota DPR komisi VIII dari Fraksi PKB menilai ini melanggar etika politik, sangat memalukan dan tidak merpesentasikan sikapnya sebagai Ketua DPR.
Menurut anggota DPR yang lain serta para pegiat politik, kejadian tersebut memalukan karena menurunkan martabat bangsa. Karena keberimbangan masih mereka masih dipertanyakan karena menemui Trump tanpa menemui bakal calon Presiden yang lain, serta muncul kesan dukungan penuh Indonesia kepada Trump yang diwakilkan oleh para anggota dewan. Tetapi hal tersebut kembali dikonfirmasi oleh Fadli Zon sebagai hal yang tidak relevan dan sekedar silaturahmi politik yang tidak perlu digembar-gemborkan.
Ketua FORMAPPI, Sebastian Salang mengomentari ini sebuah blunder politik sehingga harus dipertanggungjawabkan kepada publik. "Bisa dibilang ini adalah blunder diplomasi, perlu penjelasan dan pertanggungjawaban serta motif dan tujuannya," tutur Sebastian Salang.
Persepsi
Persepsi Fadli Zon terkait Donald Trump yang piawai sebagai pengusaha yang merambah sampai Jawa Barat dan Bali ini, ternyata bertolak balakan dengan karakter aslinya yang disampaikan Shamsi Ali, Cendikiawan Muslim yang berada di Amerika Serikat sejak 1996. "Saya mengenal Trump sebagai sosok yang kontroversial dengan karakter yang dapat memecah belah yang anti etnis, imigran dan anti muslim," kata Shamsi.
Dengan munculnya Setya Novanto kepada publik juga ternyata menurut Shamsi memunculkan opini dan citra ,masyarakat Amerika Serikat bahwa Islam di Indonesia mendudkung Trump. Ternyata dampak yang mesti mereka terima konsekuensinnya berupa pembentukkan persepsi yang beragam dan kebanyakan bernada geram.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar